BAB II
PEMBAHASAN
AKAL DAN FUNGSI DALAM MEMAHAMI
AGAMA ISLAM
Akal memiliki kedudukan yang sangat
tinggi dan mulia sekali didalam Islam. Daripada sisi bahasa, perkataan akal
diambil daripada akar katanya : ‘aqola – ya’qilu’ yang bermakna mengikat. Akal
disebut akal kerana akal mampu mengikat kita untuk tetap berada dalam
kebenaran. Dengan akal maka terselamatlah diri daripada mengikuti hawa nafsu
yang sentiasa menyuruh untuk melakukan keburukan. Dan seburuk-buruk keburukan
itu adalah kemusyrikan, kekufuran, pencampuran kebenaran dengan kebatilan,
bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Dan setiap perbuatan buruk adalah yang
akan membawa manusia ke Neraka Jahannam, Allah berfirman :
Dan mereka
berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
nescaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". [Q.S.
Al-Mulk : 10]
Ayat ini menerangkan tentang
penyesalan para penghuni neraka yang tidak mahu mendengar dan menggunakan akal
ketika hidup di dunia. Bererti, kedudukan akal sangat tinggi dan mulia sekali ;
iaitu mampu memelihara manusia daripada api neraka
Didalam Islam, dalam menggunakan
akal mestilah mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal
tidak terbabas, supaya akal tidak digiring oleh kepentingan, sehingga tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, sehingga tidak menjadikan
musuh sebagai kawan dan kawan pula sebagai musuh.
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang di luar kalanganmu (kerana) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu.
Telah nyata kebencian darpadai mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya (dengan menggunakan akalmu). [Q.S. Ali
‘Imran : 118]
A.
AKAL SEBAGAI FAKTOR PEMBEDA DENGAN MAKHLUK LAIN
Manusia
adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan
tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa
manusia berasal dari tanah.
Hal ini
dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur
kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya,
Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para
ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari
seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan
bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata
lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah
filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita
para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk
yang sempurna dan paling mulia.
Dewasa ini
manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan
pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari
rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa
dengan ovum.
Didalam
Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan
tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang
diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita
kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan
berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup
yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah
mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai
penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status
manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata
khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang
berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau
penerus ajaran Allah.
Beberapa
Definisi Manusia :
1)
Manusia adalah
makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia
mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yg mulia.
2)
Manusia adalah kemauan bebas. Inilah
kekuatannya yg luar biasa dan tidak dapat dijelaskan : kemauan dalam arti bahwa
kemanusiaan telah masuk ke dalam rantai kausalitas sebagai sumber utama yg
bebas – kepadanya dunia alam –world of nature–, sejarah dan masyarakat
sepenuhnya bergantung, serta terus menerus melakukan campur tangan pada dan
bertindak atas rangkaian deterministis ini. Dua determinasi eksistensial,
kebebasan dan pilihan, telah memberinya suatu kualitas seperti Tuhan
3)
Manusia adalah makhluk yg sadar. Ini adalah
kualitasnya yg paling menonjol; Kesadaran dalam arti bahwa melalui daya
refleksi yg menakjubkan, ia memahami aktualitas dunia eksternal, menyingkap
rahasia yg tersembunyi dari pengamatan, dan mampu menganalisa masing-masing
realita dan peristiwa. Ia tidak tetap tinggal pada permukaan serba-indera dan
akibat saja, tetapi mengamati apa yg ada di luar penginderaan dan menyimpulkan
penyebab dari akibat. Dengan demikian ia melewati batas penginderaannya dan
memperpanjang ikatan waktunya sampai ke masa lampau dan masa mendatang, ke
dalam waktu yg tidak dihadirinya secara objektif. Ia mendapat pegangan yg
benar, luas dan dalam atas lingkungannya sendiri. Kesadaran adalah suatu zat yg
lebih mulia daripada eksistensi.
4)
Manusia adalah
makhluk yg sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satuna makhluk hidup yg
mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu mempelajari,
manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
5)
Manusia adalah makhluk kreatif. Aspek kreatif
tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan
menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan
ajaib-semu –quasi-miracolous– yg memberinya kemampuan untuk melewati parameter
alami dari eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial
yg tak terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg
belum diberikan alam.
6)
Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yg
ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yg ada, tetapi
berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor
utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan
kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan
inilah yg selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki,
mewujudkan, membuat dan mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.
7)
Manusia adalah
makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai
terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku,
perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat
timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja
begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan
kehidupan mereka demi ikatan ini.
8)
Manusia adalah makhluk utama dalam dunia
alami, mempunyai esensi uniknya sendiri, dan sebagai suatu penciptaan atau
sebagai suatu gejala yg bersifat istimewa dan mulia. Ia memiliki kemauan, ikut
campur dalam alam yg independen, memiliki kekuatan untuk memilih dan mempunyai
andil dalam menciptakan gaya hidup melawan kehidupan alami. Kekuatan ini
memberinya suatu keterlibatan dan tanggung jawab yg tidak akan punya arti kalau
tidak dinyatakan dengan mengacu pada sistem nilai
B. Keterbatasan Akal
Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia.
Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah.
Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka
bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal atau fikiran manusia menjadikan
manusia sebagai makhluk yang berperadaban. meskipun begitu, akal yang selalu
diagung-agungkan oleh golongan pemikir -sebut saja golongan ra'yu atau
mu'tazilah- juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya. Akal akan
mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan
atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi
yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal
untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghoib? Mempertimbangkan
bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari
panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya
untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal
yang bersifat Ghoib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu
(agama). Mengutip perkataan tokoh
sejarah legendaris Muslim terkenal, Ibnu Khaldun : "Akal merupakan
timbangan yang sangat cermat, sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat dan
dapat dipercaya. Akan tetapi jika akal untuk menimbang sifat-sifat keesaan
Allah, hidup setelah mati, sifat-sifat kenabian (nubuwwah), atau hal-hal lain
di luar kemampuan akal, berarti sama dengan menggunakan timbangan tukang emas
untuk menimbang gunung. Ini bukan berarti bahwa timbangan itu tidak dapat
dipercaya." Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan
pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat
membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang
hal-hal yang bersifat abstrak (ghoib).
C.
Peran akal dalam memahami islam
Ikatan antara akal dan agama adalah
pembahasan yang cukup mendetail dalam sejarah pemikiran manusia. Banyak cabang
pembahasan yang dibahas di dalamnya, di antaranya: bagaimana ikatan antara akal
dan iman (dalam pandangan dunia Barat dan Islam)? Masalah yang perlu
dilontarkan ikatan antara akal dan iman; keduanya menyangkut tentang keyakinan
kita terhadap Allah Swt. Apakah keimanan atau kepercayaan terhadap sesuatu
harus dijelaskan melalui dalil akal dan akal memberikan peran penting di
dalamnya? Ataukah sudah merupakan hal yang jelas sehingga tidak butuh lagi oleh
penjelasan dalil akal. Atau keimanan berdiri di luar garis tatanan akal dan
tidak saling terkait? Bagaimana hubungan antara akal dan syariat?
Akal dan Iman
Salah satu pentingnya masalah dalam filsafat
agama hubungan antara iman dan akal. Dalam masalah ini pertanyaan-pertanyaan
telah diutarakan sebelumnya. Apakah keyakinan beragama yang berasaskan iman
merupakan hal yang rasionalitas, perbuatan yang selain itu bertentangan dengan
rasio. Jika apa yang kita sajikan tersebut tidak mampu mengklaim atau tidak
mampu menetapkan keyakinan agama sesuai dengan akal, apakah itu benar. Sebagai
contoh: untuk menetapkan adanya wujud Tuhan melalui sesuatu dalil, dengan itu
kita yakin wujud Tuhan sesuatu yang bisa diterima oleh akal? Dalam pandangan
agama Nasrani, pembahasan antara hubungan antara iman dan akal, terdapat dua
pandangan yang saling bertentangan. Pertama, kesesuaian antara
keyakinan-keyakinan agama dengan akal, contohnya; iman terhadap Tuhan sesuatu yang
diterima secara akal (Rasionalisme) Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas
(1224-1273) berpendapat bahwa keimanan melalui pengajaran oleh kitab suci dan
keseluruhan ajaran atau peraturan yang ada di dalamnya, adalah Tuhan langsung
sebagai pengajarnya. Juga tidak diragukan sebagai kitab suci (perkataan Tuhan)
yang diyakini adalah sudah merupakan hal-hal yang bersifat rasionalitas.
Pendapat kedua, keyakinan-keyakinan agama tidak sesuai dengan akal (Fideisme).
Di antara tokohnya adalah Alvin Plantinga (1932-) yang menyerupai fitrah pada
diri manusia, dengan mengatakan keyakinan manusia terhadap Tuhan terdapat dalam
jiwa manusia tanpa memerlukan dalil akal. Banyak lagi tokoh-tokoh yang mengatas
namakan kedua kelompok di atas, juga terdapat pro dan kontra terhadap
pendapat-pendapat di atas. Lain lagi yang berpendapat bahwa akal dapat
mengganggu ketenangan iman, oleh karenanya tidak ada hubungan antara akal dan
iman. Artinya iman akan di putar balikkan melalui dalil akal, sehingga dalil
akal akan membahayakan keimanan bagi khalayak awam. Namun, sama-sama kita
mengetahui bahwa salah satu kelebihan yang ada pada manusia dibanding dengan
makhluk lainnya, jika manusia mengfungsikan akalnya. Banyak persoalan yang ada
dalam konsep keagamaan diselesaikan melalui dalil akal. Di sini akal terus
berjuang mempertahankan haknya. Dan dalam persoalan syariatpun, dalil akal
untuk menopang kesempurnaannya.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Hubungan akal dan agama secara jelas, bahwa akal dan agama merupakan suatu pemberian Allah Swt yang keduanya menyampaikan manusia kepada suatu kesempurnaan. Dalam ayat:; “Sesungguhnya kami turunkan alqur’an dengan bahasa arab supaya mereka berakal.” [1] Dalam Islam akal sangatlah terkait hubungannya dengan iman, yakni melalui akalnya dia akan memahami agama karena akal adalah salah satu sumber syariat Islam. Ikatan keduanya akan menghantarkan manusia ke jalan kebahagiaan. Dalam riwayat Imam Shadiq berkata:”Akal adalah dalil seorang mukmin. Dan petunjuk bagi orang mukmin.”Dalam riwayat lain disebutkan: “ Setiap yang berakal pasti memiliki agama. Dan yang mempunyai agama akan menghantarkan ia ke surga.”[2] Dalam ayat dan riwayat di atas secara tegas Islam sangat mementingkan masalah akal. Namun, ada beberapa pendapat dalam mazhab Islam yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan dan ada pula yang mendukung fungsi dan peran akal. Diantaranya: Pendapat Ahlul Hadist ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas dalam masalah keimanan dan agama adalah haram. Cukuplah perkara-perkara agama apa yang didatangkan oleh nabi.. Akal tidak mampu menyingkap hukum-hukum Tuhan. Juga mereka berpegang kepada penafsiran yang nampak(dhahir) yang ada pada alqur’an, sehingga adanya pengertian tajsim atau tasybih pada zat Tuhan. Begitu pula mereka mengklaim bid’ah terhadap penafsiran dan takwil ayat-ayat alqur’an. Pendapat kaum Mu’tazilah ; penggunaan dalil-dalil rasionalitas yang sangat berlebihan. Pendapat Syiah Imamiyah untuk menyingkap hukum agama diperlukan dalil rasionalitas baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Akal dan Syariat
Dalam Islam kita lihat bahwa ada sebagian
hukum-hukum syariat yang secara rasional tidak bisa kita jelaskan, seperti:
mengapa shalat zuhur empat rakaat dan shalat subuh dua rakaat. Dan dalam
kategori lain sebagian hukum-hukum syariat dengan dijelaskan alasan dan tujuan
dari hukum-hukum tadi berdasarkan dalil akal, contohnya: berdusta adalah
perbuatan yang jelek(dalil akal), dikarenakan merugikan orang lain, riba
dianggap sebagai perbuatan yang jelek dikarenakan tidak menjaga maslahat kaum
miskin, dan penguasaan kekayaan hanya berputar pada orang-orang kaya, membantu
orang lain dianggap sebagai perbuatan baik karena memberikan manfaat. Seorang
mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hukum akal, ketika hukum tersebut tidak
kita temukan di dalam al-qur’an dan hadist serta ijma’. Melalui jalan ini dalil
khusus tidaklah diketahui, juga dalil yang berasal dari nash yang sahih tidak
dapat menetapkan (tidak ada nash). Akal memberikan hukumnya dalam bentuk
ikhtiyat(kehati-hatian), bara’ah (berlepas), pemilihan, memberikan fatwa
penafian segala bentuk yang berbahaya, dan lain-lain.Namun, kita percaya bahwa
semua perbuatan pasti mempunyai tujuan, dan manfaat tersebut akan kembali pada
manusia. Dalam syariat pun berlaku demikian. Kita berkeyakinan bahwa semua
hukum-Nya (termasuk hukum-hukum yang tidak diketahui manfaat dan tujuan oleh
kita) memiliki tujuan dan bermanfaat bagi manusia. Bukan hanya tugas seorang
ulama yang menemukan dengan melalui hasil ijtihadnya untuk menjelaskan
hukum-hukum syariat tadi, juga tugas dari para pakar sains dan ilmuwan untuk
menyingkap tujuan dari hukum-hukum tersebut. Para mujtahid bekerja sama dalam
menyingkap hukum berdasarkan dalil-dalil yang didapat dari alqur’an dan hadist.
Di sini Islam menentang adanya penafsiran hukum-hukum syariat berdasarkan
pendapat sendiri.
Batasan-batasan Akal
Ahli Ma’rifat mengatakan: akal untuk mengenal
agama, adalah sesuatu yang lazim, akan tetapi itu tidaklah cukup.
Karena apa yang akan dipahami, melebihi atas pemahaman ilmu usuli, apa
yang disebut dengan penyaksian (syuhudi), yakni di luar apa yang
dipahami oleh akal. Begitu juga apa yang dapat kita rasakan langsung melalui
perantara panca indera , setelah melalui proses uji coba, tidaklah memerlukan
dalil akal (burhan), akal hanya memberikan hukum general (kulli)
terhadap permasalahan tersebut.
Pembelaan Akal terhadap Agama
Jika ditanyakan bahwa apakah permasalahan
general(kulli) dan partikular(juz’i) adanya pembelaan akal
terhadap agama? Jawabannya adalah: terhadap masalah-masalah partikular, akal
tidak berperan di dalamnya, dan tidak memerlukan dalil akal (argumentasi) ,
juga terhadap masalah partikular alam, partikular syariat. Adapun sebaliknya
terhadap masalah-masalah general alam dan syariat, adalah jalan untuk
menggunakan dalil akal. Oleh karena itu, akal berperan penting dalam
menggariskan hukum-hukum general agama dan syariat, juga hukum-hukum general
alam , yakni setelah keberadaan Allah Swt kita yakini, dan Allah Swt dengan
ilmu, kehendak, dan hikmah dan semua sifat kebaikan-Nya telah kita kenali,
sehingga dapat dipahami bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mempunyai tujuan dalam
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, oleh karena segala perkara, tujuan alam tidak
dapat diketahui. Dan dikarenakan alam adalah ciptaan Allah Swt. Pastilah dalam
ciptaan-Nya pun mempunyai tujuan dan maksud. Namun perlu diketahui bahwa semua
tujuan dan manfaat tersebut kembali pada manusia . Dapat disimpulkan bahwa:
1. Agama bersifat general (kulli), mendapatkan
pembelaan akal secara langsung.
2. Partikular agama secara
langsung dan tanpa perantara tidak bisa dibuktikan melalui dalil akal, akan
tetapi secara tidak langsung dan melalui perantara dengan menggunakan dalil
akal.
3. Tidak adanya pembelaan secara
akal, tanpa perantara atas partikular agama dikarenakan terbatasnya akal dalam
perkara-perkara secara partikular.
4. Setelah merasakan penyaksian
kebenaran perkara-perkara partikular, mampu untuk diterangkan melalui dalil
akal.
5. Akal dalam menegakkan dalil
untuk masalah-masalah partikular sangatlah terbatas dan ukuran kebenaran
atasnya tidaklah bisa dipertahankan.
Kebenaran Iman
Beberapa contoh tentang beberapa kemungkinan
rasionalitas iman dan tidak mungkinnya rasionalitas iman:
1. Jika yang dimaksud dengan iman
di sini adalah perkara-perkara partikular, yang memiliki realitas di luar. Maka
di sini akal tidak mampu menerima perkara partikular, dan keimanan tidak dapat
diuraikan dengan dalil akal. Contohnya: wujud adanya surga, yang merupakan
wujud realitas di luar, dengan dalil akal tidak dapat membuktikannya. Namun
apabila surga dengan pemahaman general sebagai sebuah tempat pahala yang akan
diterima dari perbuatan baik atau sebagai bentuk luar (misdaq) dari
perbuatan pahala perbuatan.
2. Jika yang dimaksud dengan iman
adalah hasil dari pengalaman spiritual atau sebuah pengalaman spiritual pribadi
yang tertentu, maka dalil akal tidak dapat membuktikannya. Karena dengan
pengalaman spiritual pribadi akan mengakibatkan berbagai macam interpretasi
dari bentuk keimanan. Oleh karenanya para nabi mengajak kaumnya kepada keimanan
dengan dalil akal dan ditopang oleh wahyu dan tidaklah dengan menerangkan hasil
dari pengalaman pribadinya tanpa melalui penerangan wahyu.[]
BAB
III
A. Kesimpulan
Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang
benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas
pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun
informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah
satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan,
menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.Namun, karena kemampuan
manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama. Maka tidak ada
kemampuan akal antar manusia yang betul-betul sama.
B. Saran
Hendaknya
mahasiswa dapat mengkaji lebih dalam mengenai
Fungsi-fungsi dari akal.
Hendaknya
mahasiswa dapat memperoleh dan mengkaji materi mengenai agama islam. Dan selalu
mengkaji dengan akal sebagaimana kita sebagai makhluk yang memiliki akal.
DAFTAR PUSTAKA
http://fatwasyafiiyah.blogspot.com/2011/12/imam-asy-syafii-keterbatasan-akal.html